Memilih Sekolah yang Tepat, Bukan yang Terbaik

Sekolah adalah jembatan perubahan. Melalui pendidikan, anak akan belajar banyak hal. Bukan hanya perkara pengetahuan dan keterampilan, pendidikan juga akan berpengaruh pada pembentukan mindset (pola pikir) dan terciptanya networking. Secara langsung atau tidak, hal ini akan berpengaruh pada masa depan anak.

Menjelang tahun ajaran baru seperti saat ini, orangtua sibuk memilih sekolah buat anaknya. Setiap orangtua pasti memiliki keinginan untuk selalu memberikan yang terbaik buat anaknya, termasuk perkara pendidikan. Kita semua sepakat, pendidikan itu penting. Hanya saja memilih sekolah itu gampang-gampang susah.

Baca Juga : Sekolah Swasta atau Negeri? Mana yang Lebih Baik?

Di negara kita ada begitu banyak sekolah, dan tentu saja sekolah-sekolah itu memiliki kualitas yang berbeda-beda. Lihat saja dari sisi biaya, ada sekolah yang gratis, ada juga yang biayanya puluhan sampai ratusan juta. Dan bagi sebagian besar masyarakat, faktor biaya masih menjadi entry barrier dalam memilih sekolah.
Kita sama-sama paham, sekolah yang bagus itu cenderung mahal. Karena untuk membangun gedung yang megah dan menyediakan fasilitas super lengkap serta membayar guru-guru profesional dibutuhkan biaya yang tinggi. Konsekuensinya bagi sekolah swasta, biaya-biaya tersebut, sebagian atau sepenuhnya, harus ditanggung orangtua siswa.

Terkecoh

Orangtua sering terkecoh dengan kriteria sekolah terbaik. Sejauh ini, sekolah terbaik sering kali dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat akademis. Peringkat akreditasi. Lulusan yang berhasil lolos PTN. Atau berbagai prestasi akademis lainnya. Kita lupa, seharusnya yang menjadi indikator kualitas sekolah adalah sejauh mana ia mampu mengubah peserta didik menjadi lebih baik.

Harus ada perbedaan yang signifikan antara kondisi awal peserta didik (input) dan kondisi setelah mengikuti proses pendidikan (output). Kalau ada sekolah favorit, yang masuknya saja harus melalui seleksi yang ketat, rasanya biasa-biasa saja kalau kemudian siswa-siswinya berprestasi, alumninya lolos masuk ke berbagai PTN. Kan input-nya juga sudah berkualitas? Para guru tidak butuh effort yang besar.

Ada dua teori belajar yang paling banyak digunakan. Pertama, teori yang memandang bahwa pada dasarnya setiap anak memiliki potensi. Maka fungsi pendidikan memfasilitasi tumbuh kembang potensi tersebut dengan optimal. Teori kedua menekankan pada perubahan perilaku; kompetensi apa yang harus dimiliki siswa setelah menjalani serangkaian pendidikan. Kalau pada teori pertama guru berperan menuntun mengoptimalkan potensi anak, sedangkan pada teori kedua guru berperan mengisi. Keduanya baik, meski masing-masing tetap memiliki kekurangan dan kelebihan

Pendidikan dapat dianalogikan seperti kegiatan cocok tanam. Kalau bibitnya berasal dari varietas unggul, ditanam di tanah yang subur, kemudian ditangani petani profesional, kita bisa menebak, hasilnya akan optimal. Namun setiap tanaman memiliki karakteristik yang berbeda. Ada tanaman yang tumbuh subur ditempat kering, ada juga yang butuh banyak air. Ada tanaman yang cocok di dataran tinggi, ada yang justru butuh dataran rendah. Adanya perbedaan karakteristik meniscayakan perlakuan berbeda pula.

Begitupun dalam pendidikan. Keberhasilan pendidikan dipengaruhi tiga variabel, yakni anak didik, sekolah, dan guru. Setiap anak merupakan pribadi yang unik. Memiliki karakteristik, minat, dan bakat yang berbeda. Potensinya pun berbeda. Jangankan dengan teman sekelasnya, dengan saudara kandungnya saja berbeda. Kalau kita merujuk pada teori multiple intelegence (kecerdasan majemuk), setiap anak pada dasarnya cerdas. Setidaknya ia memiliki satu dari delapan kecerdasan.

Sekolah dalam artian lingkungan maupun sistem harus mampu menjadi ekosistem yang subur untuk tumbuh kembang potensi anak. Tidak ada diskriminasi terhadap kecerdasan. Selanjutnya, bisa jadi ini merupakan faktor terpenting, adalah guru. Peran guru sangat penting karena ia adalah ujung tombak yang berinteraksi langsung dengan anak. Guru perlu menyadari sepenuhnya bahwa profesinya berbeda dengan profesi lain. Bahwa dalam pendidikan anak adalah objek sekaligus subjek.

Apapun pendekatan belajar yang digunakan, keberhasilan pendidikan dimulai dari kejelian guru dan orangtua dalam mengenal potensi anak. Potensi yang berbeda akan menuntut treatment yang berbeda. Perlakuan yang tepat akan membuat potensi anak tumbuh dan berkembang. Karena anak lebih antusias dan gembira dalam mengikuti pembelajaran. Di tangan guru kreatif kekurangan fasilitas akan mudah diatasi.

Sesuai Potensi

Saya teringat film yang sangat inspiratif, Beyond the Blackboard. Film yang dirilis pada 2011 ini diangkat dari kisah nyata Stacey Bess. Menceritakan tentang perjuangan ketulusan seorang wanita yang direkrut menjadi guru di tempat penampungan warga Amerika yang homeless. Situasi sekolah yang sama sekali tidak ideal. Tidak ada fasilitas untuk belajar. Anak-anak yang juga sangat liar. Namun dengan ketulusannya dan dedikasinya ia membenahi sendiri tempat tersebut dengan apapun yang ia punya. Ia bisa mengambil hati satu per satu anak maupun orangtua. Perlahan ia mengubah segalanya.

Sekolah yang tepat adalah sekolah yang paling sesuai dengan karakteristik dan potensi anak. Bisa jadi ia tidak memiliki julukan sekolah terbaik atau favorit. Ia hanya sekolah dengan bangunan sederhana yang berdiri di pinggir kota. Namun dengan guru-guru yang penuh ketulusan dan dedikasi, ia mampu menggali dan memfasilitasi tumbuh kembang potensi anak. Sekolah yang mampu menghadirkan pendidikan esensial, bukan eksistensial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *